Jakarta, Hotfokus.com
Polemik terkait dengan kapal China yang kembali berulah di perairan Natuna tanpa izin membuat publik bertanya-tanya terhadap komitmen pemerintah dalam menjaga kedaulatan negara. Meski China bersikukuh tidak ada pelanggaran hukum yang dilakukan, namun pemerintah harus bersikap tegas terhadap pelaku-pelaku pencurian ikan di perairan Indonesia.
Santer diberitakan bahwa Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Geng Shuang menyatakan bahwa Perairan Natuna termasuk dalam Nine-Dash Line China. China menganggap bahwa wilayah Laut China Selatan seluas 2 juta km persegi dalam Nine-Dash Line adalah hak maritim historisnya.
Namun begitu bagi Pengamat Intelijen dan Keamanan, Stanislaus Riyanta, mengatakan ketegasan pemerintah yang tidak akan pernah mengakui Nine-Dash Line atau sembilan garis putus-putus yang diklaim oleh China sudah tepat. Natuna telah jadi milik Indonesia sesuai dengan ketetapan United Nations Convention for The Law of The Sea (UNCLOS) atau konvensi Hukum Laut PBB pada 1982.
“Ulah China di Laut China Selatan juga dilawan oleh Filipina. Filipina membawa sengketa Laut Cina Selatan ke Permanent Court of Arbitration karena menentang Nine Dash Line,” kata Stanislaus dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (5/1).
Dijelaskannya bahwa pada 12 Juli 2016 Permanent Court of Arbitration menyatakan bahwa China telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut Cina Selatan. Keputusan ini juga menjadi dasar hukum bagi kedaulatan Indonesia atas Natuna. Sementara area dalam Nine-Dash Line yang diklaim China seluas 2 juta km persegi di Laut Cina Selatan terdiri dari wilayah laut Indonesia di Natuna, laut Filipina, laut Malaysia, laut Vietnam, dan laut Brunei. Jauh sebelum putusan Permanent Court of Arbitration, pada tahun 2009, China sudah pernah mendaftarkan Laut China Selatan sebagai wilayahnya ke PBB. Tapi ditolak karena China tak bisa menjelaskan dasar hukum yang valid.
Menanggapi klaim sepihak dari China, Menteri Luar Negeri, Retno LP Marsudi dan Presiden Jokowi melalui Juru Bicaranya, Fadjroel Rachman menegaskan tidak akan kompromi dalam mempertahankan kedaulayan Indonesia. Pernyataan Presiden dan Menteri Luar Negeri tersebut tentu sekaligus mematahkan pernyataan Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto yang terkesan lebih lunak dengan mempertimbangkan aspek persahabatan.
“Selain itu Presiden dan Menteri Luar Negeri juga meluruskan pernyataan Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi Luhut Pandjaitan yang mempertimbangkan aspek investasi,” ulas dia.
Sikap China yang melanggar kedaulatan Indonesia selain disikapi dengan tegas juga perlu dicari faktor penyebabnya. Berbagai spekulasi muncul atas sikap China tersebut. Namun tindakan agresif China yang terjadi pasca kuatnya aksi di Indonesia atas isu Uyghur tidak bisa dibantah. Indonesia juga harus membangun kekuatan militer yang lebih baik. China tentu tidak akan berulah jika sasarannya mempunyai militer yang kuat. Dalam kasus di Natuna bisa saja China memang meremehkan kekuatan militer Indonesia, apalagi jika respon Indonesia melunak.
Isu tentang sikap China ini juga perlu diwaspadai dampaknya di Indonesia. Adanya kelompok tertentu di Indonesia yang mempunyai sentimen negatif terhadap China bisa berkembang menjadi aksi yang negatif. Sentimen yang sudah dipicu oleh isu Uyghur bisa semakin berkembang dengan sikap China di Natuna. Isu-isu tersebut harus dikelola dengan baik supaya tidak menjadi faktor pendorong terjadinya unjuk rasa, konflik SARA maupun aksi teror.
“Natuna adalah wilayah Indonesia yang sangat kaya akan sumber daya alam dan letaknya sangat strategis. Sikap tegas perlu dilakukan untuk menjaga dan mengelola wilayah tersebut dengan baik. Jika sikap Indonesia lemah, termasuk karena tekanan persahabatan dan investasi, maka jangan berharap wilayah tersebut dapat dipertahankan,” pungkas dia. (DIN/rif)
Leave a comment