Oleh : Andi N Someng
Dosen – Guru Besar UI
Ada ironi yang diam-diam menggelitik. Industri konsultansi —EY, PwC, KPMG, Deloitte, McKinsey, BCG—yang selama puluhan tahun menjual ketidakpastian sebagai peluang dan analisis sebagai komoditas, kini berhadapan dengan mesin yang dapat melakukan keduanya tanpa perlu mitra senior, bonus, atau jam lembur, yaitu AI.
Selama ini, konsultansi dibangun di atas tiga hal :
- akses ke pengetahuan,
- kemampuan merangkai analisis,
- dan produksi rekomendasi berwibawa.
AI mendemokratisasi semuanya, membuat barrier to entry runtuh. Apa yang dulu dijual sebagai “ insight eksklusif ” kini tersedia dalam hitungan detik—tanpa marble lobby, tanpa tim analis berjajar, tanpa dress code.
Kenyataan pahitnya, AI bukan sekadar alat baru. Ia adalah cermin yang memaksa konsultansi menatap kelemahan strukturalnya—bahwa banyak pekerjaan konsultansi bersandar pada repetisi dan packaging, bukan kebijaksanaan. Jika selama ini mereka menasihati klien tentang “ disrupsi ,” kini giliran mereka menerima resep obat yang sama.
Namun, seperti semua perkara manusia, ada celah yang tidak bisa direbut oleh algoritma: intuisi, politik ruang rapat, seni meyakinkan pemilik modal, keberanian mengambil risiko moral, serta sensitivitas terhadap konteks sosial. Di titik inilah konsultansi mesti menemukan kembali raison d’être-nya.

Karena pada akhirnya, pertanyaan besarnya bukan: “Apakah AI akan menggantikan konsultan?”
Tetapi:
“Apakah konsultan akan tetap menjadi manusia yang berpikir—atau sekadar menjadi operator slide PowerPoint yang bersaing dengan mesin?”
Jika industri konsultansi ingin hidup, ia harus berhenti menjual jam kerja, dan mulai menjual kebijaksanaan.
Jika tidak, sejarah akan mencatat bahwa profesi yang paling sering memperingatkan tentang perubahan, adalah profesi yang paling lambat berubah.[•]
Leave a comment