Jakarta, hotfokus.com
Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (ASPEK Indonesia) mendesak pemerintah untuk menetapkan kemaikan upah minimum tahun 2022 sebesar 7-10 persen. Kenaikan itu bertujuan untuk meningkatkan daya beli masyarakat, yang mengalami tekanan berat di masa Pandemi Covid-19.
Hal itu disampaikan Presiden ASPEK Indonesia, Mirah Sumirat, SE, kepada awak media di Jakarta, Sabtu (30/10/2021).
Mirah Sumirat menjelaskan, tuntutan kenaikan upah minimum sebesar 7 – 10 persen itu didasarkan pada hasil survey Kebutuhan Hidup Layak (KHL) yang dilakukan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) di 24 Provinsi, dengan menggunakan 60 komponen KHL.
“Hasil survey KHL KSPI menunjukkan bahwa besaran kenaikan upah minimum tahun 2022 yang paling layak adalah sebesar 7 persen sampai dengan 10 persen,” ungkap Mirah Sumirat.
Mirah Sumirat juga menekankan bahwa sampai saat ini Undang Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja masih dalam proses sidang gugatan di Mahkamah Konstitusi. Sehingga segala peraturan turunannya, termasuk Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan seharusnya dikesampingkan dan tidak dipaksakan untuk diberlakukan.
“ASPEK Indonesia meminta Pemerintah untuk menetapkan kenaikan upah minimum tahun 2022, dengan tetap menggunakan formula perhitungan kenaikan upah minimum berdasarkan Undang Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kenaikan Upah Minimum, yaitu berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas dan pertumbuhan ekonomi,” tegasnya.
ASPEK Indonesia, kata Mirah Sumirat juga mendesak agar mekanisme perundingan kenaikan upah minimum di Dewan Pengupahan, baik tingkat provinsi maupun kota/kabupaten, dilaksanakan berdasarkan UU Nomor 13 tahun 2003, dengan terlebih dahulu Dewan Pengupahan melakukan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), serta memperhitungkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi,” tegas Mirah Sumirat.
Selama ini pemerintahan Presiden Jokowi disebut telah menerbitkan peraturan pengupahan yang semakin rendah dan merugikan pekerja. Jika berdasarkan UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003, kenaikan upah minimum berdasarkan survei Kebutuhan Hidup Layak (KHL), produktivitas dan pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2015, Presiden Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah No.78 Tahun 2015 tentang Pengupahan, yang menghilangkan mekanisme survey KHL, sehingga formula kenaikan upah minimum hanya berdasarkan akumulasi tingkat inflasi dan angka pertumbuhan ekonomi.
Kemudian pada 2021, Presiden Jokowi juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan yang merupakan aturan turunan dari Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang kembali mengurangi dasar perhitungan kenaikan upah minimum hanya berdasarkan variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi (bukan akumulasi).
“Perubahan formula perhitungan upah minimum yang terus berkurang ini, membuktikan Presiden Joko Widodo hanya berpihak pada kepentingan pengusaha,” tegasnya.
Mirah Sumirat juga mendesak mekanisme pengawasan Dinas Ketenagakerjaan dan Kementerian Ketenagakerjaan harus dibenahi. Sebab hingga saat ini masih banyak perusahaan yang membayar upah pekerja hanya sebatas nilai minimal.
“Padahal seharusnya upah minimum hanya diberikan kepada pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun. Sedangkan untuk pekerja yang berkeluarga atau masa kerja lebih dari 1 (satu) tahun seharusnya mendapatkan upah di atas upah minimum,” pungkasnya. (SNU)
Leave a comment