Jakarta, Hotfokus.com
Pada bulan Nopember 2022 ini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah akan segera membahas Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) atau salah satu dokumen peraturan di dalam Omnibus Law.
Namun menurut Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, jika dicermati secara komprehensif, RUU ini berpotensi merusak stabilitas sistem perekonomian negara berdasarkan Pasal 33 UUD 1945. “Yang krusial adalah penempatan tugas pokok dan fungsi otoritas keuangan dan moneter serta penempatan para personilnya,” kata Defiyan di Jakarta, Senin (20/11/2022).
Lebih jauh ia mengatakan, salah satu materi penting dalam RUU PPSK ini adalah dominasi Menteri Keuangan (Menkeu) dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Padahal dalam perspektif sistem ekonomi konstitusi semestinya keputusan KSSK diambil secara musyawarah dan kekeluargaan.
Namun kata dia, di dalam rancangan RUU tersebut apabila terjadi kebuntuan, maka Menteri Keuangan bisa memutuskan sendiri. Kemenkeu juga berpotensi “mendesain” krisis ekonomi dan moneter dengan kewenangan amat besar dalam penentuan sebuah bank berdampak sistemik atau tidak.
“Pola dan model koordinasi yang dibentuk ini justru akan mengabaikan peran dan fungsi lembaga otoritas keuangan dan moneter lainnya seperti Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mau tidak mau harus patuh terhadap aturan yang sudah ditetapkan Menkeu, dan itu membahayakan penerapan konstitusi ekonomi UUD 1945 dengan berdalih stabilitas keuangan,” paparnya.
Materi krusial lainnya, lanjut dia, yaitu adanya upaya penghapusan pasal 47 huruf c dalam substansi Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia, yaitu adanya larangan Anggota Dewan Gubernur alias Deputi BI untuk menjadi pengurus atau anggota partai politik.

“Apabila materi ini dihapuskan, maka jelas membahayakan stabilitas politik negara karena kepala otoritas keuangan akan dikuasai oleh para politisi dan hanya untuk kepentingan jangka pendek, sebagai misal Pemilihan Umum (Pemilu),” ujarnya.
Menurut dia, hal ini akan menyebabkan peran BI yang ditambah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi akan terhambat oleh hanya menuruti kepentingan partisan, dan ada pihak yang menjadi wasit sekaligus pemainnya.
“Implikasinya, lembaga BI tidak akan fokus dalam menyusun berbagai kebijakan untuk kepentingan pembangunan ekonomi masyarakat, bangsa dan negara secara objektif. Sebagaimana halnya yang terjadi pada anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang personilnya berasal dari unsur atau kader partai politik,” tukasnya.
Bank Indonesia (BI) sendiri adalah bank sentral Republik Indonesia sesuai Pasal 23D Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD) dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yang juga membutuhkan berbagai revisi mendesak. Sebelum seluruh sahamnya dibeli oleh Pemerintah Indonesia dan Bank ini awalnya bernama De Javasche Bank (DJB) yang didirikan berdasarkan Oktroi pada masa pemerintahan kolonialisme Hindia Belanda.
Sebagai bank sentral, BI mempunyai tujuan utama, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua dimensi, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa domestik (inflasi), serta kestabilan terhadap mata uang negara lain (kurs), dan kalau ini diintervensi oleh kekuatan partai politik jelas akan mengalami kemunduran seperti era korporasi kolonialisme, rakyat banyak yang dirugikan.(RAL)
Leave a comment