Oleh : Salamuddin Daeng
Hilirisasi sumber daya alam mutlak dilanjutkan! Dasar dasarnya telah disusun secara baik dalam satu dekade terakhir. Sebagian telah berjalan sesuai dengan regulasi yang ada. Tidak ada jalan untuk mundur. Sekeras apapun tantangan dan penolakan dari pihak asing. Kekayaan alam ini adalah hak bangsa Indonesia. Tentu saja bangsa Indonesia berhak mengolahnya untuk kepentingan kemajuan dan peradaban bangsa.
Memang akan ada pihak pihak yang menjadi antek asing, koaborator kapitalis asing akan memanfaatkan kesempatan ini. Apalagi dalam Pilpres dan Pileg, mereka akan mencari dukungan asing dengan janji akan membatalkan seluruh agenda hilirisasi dan smelterisasi. Tentu saja imbalan dari pengkhianatan ini sangatlah besar. Bisa cukup bagi mereka untuk mengacaukan keadaan.
Sebagai gambaran bahwa Uni Eropa telah mengajukan gugatan ke World Trade Organization. Ini diawali Pada tanggal 22 November 2019, Uni Eropa meminta konsultasi dengan Indonesia melalui WTO mengenai dugaan tindakan berikut: (a) pembatasan ekspor nikel, termasuk larangan ekspor yang sebenarnya; (b) kebutuhan pengolahan dalam negeri untuk nikel, bijih besi, kromium dan batubara; (c) kewajiban pemasaran produk nikel dan batubara dalam negeri; (d) persyaratan izin ekspor nikel; dan (e) skema subsidi yang dilarang.
Uni Eropa menyatakan bahwa tindakan-tindakan yang membatasi ekspor bahan mentah tertentu, termasuk bahan-bahan yang memerlukan persyaratan pengolahan dalam negeri, kewajiban pemasaran dalam negeri, dan persyaratan perizinan ekspor, tampaknya tidak sejalan dengan Pasal XI:1 The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT 1994).; dan skema subsidi yang dilarang tampaknya tidak sejalan dengan Pasal 3.1(b) Perjanjian Subsidies and Countervailing Measures (SCM);
Merasa tidak dapat menekan Indonesia sendiri, Uni Eropa mengajak bergabung sekutu sekutunya. Pada 6 Desember 2019, Amerika Serikat meminta untuk bergabung dalam konsultasi tersebut. Pada 14 Januari 2021, Uni Eropa meminta pembentukan panel. Pada pertemuannya tanggal 25 Januari 2021, Dispute Settlement Body (DSB) menunda pembentukan panel. Pada pertemuannya tanggal 22 Februari 2021, DSB membentuk panel. Brasil, Kanada, Tiongkok, India, Jepang, Korea, Federasi Rusia, Arab Saudi, Singapura, Tiongkok Taipei, Turki, Ukraina, Uni Emirat Arab, Inggris, dan Amerika Serikat memiliki hak sebagai pihak ketiga mereka.
Uni Eropa dan sekutunya lupa bahwa agendan pembangunan berkelanjutan di negara berkembang sangat ditentukan oleh cara negara berkembang mengkekspoitasi kekayaan alamnya, hutan dan lautanya. Kalau model ekploitasi bahan mentah untuk menopang pertumbuhan ekonomi maka dijamin alam akan rusak lebih cepat. Jika kerusakan lingkungan berlangsung dengan cepat maka negara Eropa akan tenggelam duluan oleh perubahan iklim.
Pemerintah Indonesia sendiri telah mengajukan banding. Pada tanggal 8 Desember 2022, Indonesia memberitahukan DSB mengenai keputusannya untuk mengajukan banding kepada Badan Banding mengenai permasalahan hukum dan interpretasi hukum tertentu dalam laporan panel.
Usaha mengajukan banding adalah langkah penting, agar negara penggugat dapat melihat bahwa masalah pembatasan ekspor adalah mandat konstitusi yakni konstitusi dasar negara Republik Indonesia, bukan persoalan kebijakan pemerintah semata, sehingga tidak mungkin dapat disengketakan, kecuali jika konstitusi dasar Indonesia beserta seluruh peraturan perundangan di bawahnya diubah.
Mengapa? Karena hilirisasi adalah amanah Pembukaan UUD 1945, perintah pasal 33 UUD 1945, amanat UU Minerba, keharusan bagi Industrialisasi nasional. Ini adalah suatu langkah penting. Suatu tonggak untuk melompot menjadi negara maju. Satu hal yang tidak kalah pentingnya adalah ini merupakan agenda pembangunan berkelanjutan yakni menahan ekploitasi sumber daya alam tanpa batas melalui industrialisasai di Indonesia. Jadi tidak ada rasa gentar sedikitpun untuk menjalankan dengan sungguh sungguh! [•]
Leave a comment