Jakarta, hotfokus.com
Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, menegaskan Indonesia membuka peluang investasi dari semua pihak. Karenanya investasi tak memiliki bendera.
“Saya rasa investasi tidak memiliki bendera. Kami sangat terbuka untuk semua pihak. Jadi menurut saya (yang berinvestasi di Indonesia) bukan hanya Tiongkok, tapi juga ada AS di sisi tembaga (Freeport). Dulu juga ada Jepang di sisi bauksit. Untuk nikel kami belajar dari sejarah tersebut,” katanya, dalam keterangannya seperti dikutip Kamis (16/5/2024).
Sebelum investasi di nikel, Indonesia mengekspor baja hanya 2 miliar dolar AS. Itu sekitar tahun 2014. Namun sekarang jumlahnya mencapai 26-30 miliar dolar AS dalam setahun. “Jadi ini merupakan nilai tambah bagi masyarakat Indonesia,” jelas menko.
Di masa depan, Airlangga menegaskan nikel Indonesia juga akan berbasis energi hijau melalui pabrik peleburan yang dioperasikan dengan tenaga air, pembangkit listrik tenaga gas, atau bahkan pembangkit listrik tenaga surya. Tentunya akan dilakukan transisi energi di Indonesia. Namun di sisi lain, Indonesia harus tetap kompetitif dengan produk yang dihasilkan, sehingga biaya menjadi hal yang krusial. Meski begitu, Green nickel dan pertambangan berkelanjutan akan terus berproses secara bertahap.
Airlangga mengaku tak menganggap pembatasan perdagangan menjadi rintangan dalam negosiasi perdagangan bebas dengan Uni Eropa. Indonesia berhak mengelola hasil alamnya sendiri. Pemberlakukan larangan ekspor bahan mentah yang belum diolah tentunya bertujuan agar Indonesia memiliki daya saing global. Dengan begitu, Indonesia dapat membawa nilai tambah ke dalam negeri yang membawa keuntungan bagi rakyat Indonesia.
Terkait negosiasi dengan Uni Eropa, menko mengemukakan Indonesia ingin diperlakukan secara adil, setelah melihat bagaimana Eropa memperlakukan Indonesia secara berbeda, dengan Vietnam dan Thailand.
“Kami ingin melihat semuanya bersama demi kepentingan semua pihak. Meski dunia ini besar, di sisi lain menjadi kecil,” kata Airlangga.
Seperti yang terjadi antara Israel dan Hamas. Ketika harga minyak naik, orang-orang di jalanan (Indonesia) yang akan menderita. Kami tidak ingin penderitaan ini dirasakan secara global. (bi)
Leave a comment