Oleh: Defiyan Cori
Ekonom Konstitusi
Tiba-tiba saja muncul dinota atau bon sebagai bukti transaksi pembayaran (struk) konsumen tulisan jasa pelayanan (service charge). Konsumen tentu terkejut, kaget dan ada juga yang mengeluh atau protes (complaint), dan bertanya, “ini biaya pelayanan apa”? Besarnya biasanya 10-15 persen dibebankan ke konsumen. Bukankah konsumen sudah membayar pajak penjualan (sesuai UU Ppn 10%)? Untuk apa dan siapa biaya jasa pelayanan yang kewajibannya telah melekat (inheren) pada para pengusaha tersebut?
Biasanya biaya jasa pelayanan itu mulai jamak dibebankan pada konsumen produk makanan. Pada umumnya terjadi saat transaksi pembayaran diberbagai restoran di kota-kota besar selama kurang lebih 20 tahun terakhir. Ibarat pungutan liar (pungli) yang tidak ada dasar hukumnya sehingga menjadi beban konsumen. Para produsen atau pengusaha tersebut membebankan begitu saja kepada konsumen tanpa tedeng aling-aling. Pertanyaannya, butir (item) biaya apakah ini, bukankah ini bentuk perbuatan pungli?
**
Sebagai contoh, misalnya harga sepotong makanan ringan sebutlah tahu atau tempe goreng. Harga yang tertulis dan harus dibayar konsumen adalah Rp1.000. Setelah itu, ditambah kewajiban Ppn 10 persen menjadi Rp1.100. Lalu, pengusaha menambahkan lagi biaya jasa pelayanan sebesar 10 persen. Total pembayaran konsumen menjadi Rp1.200 jika dikalikan dengan harga. Kalau beban pengalinya setelah ditambah Ppn (Rp1.100) tentu harga yang dibayarkan konsumen lebih tinggi lagi.
Dalam kasus biaya jasa pelayanan itu, konsumen hanya menjadi obyek bukan sebagai raja. Runtuhlah ungkapan selama ini yang menyatakan, konsumen adalah raja. Sebab, kasus biaya jasa pelayanan 10-15 persen telah mengakibatkan konsumen menjadi korban pungutan tidak resmi atau liar dari sebuah transaksi.
Konsumen yang seharusnya menjadi subyek pelayanan malah menjadi obyek “pemerasan” pada nota pembayaran. Bisa dibayangkan jika kasus ini terjadi pada semua transaksi perdagangan barang/jasa hajat hidup orang banyak lainnya, semisal pembelian BBM, pembayaran listrik, pengurusan SIM dan KTP.
Nota pembayaran dari biaya jasa pelayanan siluman atau pungli itu jelas pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU 8/1999/UUPK). Pelanggaran itu, khususnya atas Pasal 4 huruf i yang menyatakan hak konsumen untuk mendapatkan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang/jasa, termasuk harga. Artinya, biaya jasa pelayanan yang tiba-tiba muncul pada nota pembayaran adalah pungutan liar, tidak resmi dan pelanggaran hukum.
Selain pasal harga, UUPK ini juga mengatur larangan iklan menyesatkan terutama di Pasal 10. Sedangkan Pasal 8 ayat (1) huruf f adalah terkait jual tidak sesuai label/iklan harga dengan sanksi pidana dan denda di Pasal 62. Pelanggaran seperti iklan harga palsu, tidak mencantumkan harga, atau menjual di atas HET bisa kena sanksi berat, termasuk pidana penjara maksimal 5 tahun dan atau denda maksimal Rp2 miliar.

**
Dalam bentuk lain (banyak juga komplain), di sektor transportasi udara atau jasa penerbangan konsumen juga sering mengalami kerugian. Hal ini terjadi pada kasus terlambatnya penumpang suatu perusahaan maskapai saat jadwal penerbangan pesawat telah tiba (boarding and take off time). Perlakuan tak wajar dan adilnya justru lebih berbiaya “mahal” sesuai harga tiket.
Bagi penumpang yang terlambat untuk mendaftar masuk pesawat yang akan terbang, maka tiket pesawat yang telah dibelinya tidak berlaku lagi. Padahal, harga beli tiket pesawat penerbangan domestik tidaklah murah, yaitu rata-rata berkisar Rp700.000-2.000.000 (sesuai batar harga terendah-tertinggi). Betapa mudahnya pengusaha maskapai mencari keuntungan atas keterlambatan beberapa detik dari penumpang sebagai konsumen.
Secara terpaksa, konsumen pun harus menerima begitu saja hukuman (punishment) beban ekonomi atau pungli ini. Tanpa adanya perlindungan atau toleransi alasan dari keterlambatannya. Dan, otomatis harga tiket yang dibeli penumpang dikantongi oleh perusahaan maskapai. Wajar dan adilkah aturan ini, sementara saat pesawat yang terlambat (delayed) justru kompensasi tak dibayarkan maskapai atau jumlahnya tak sepadan kepada konsumen.
Biaya dan konsekuensi yang tak wajar dan imbang ini cenderung menjadi ajang menambah batas (margin) keuntungan atau laba para pengusaha. Atau beban ini menjadi “permainan” oknum otoritas pemerintah dan para pengusaha tersebut? Meskipun, memang masuk ke kas negara tentu bisa dihitung dalam APBN, konsumen tetap tidak bisa menerimanya..
Apalagi, setiap biaya atau harga pelayanan konsumen untuk contoh kasus transaksi pembayaran makanan dan keterlambatan penumpang tersebut adalah beban bagi konsumen. Bagi produsen atau pengusaha justru menambah keuntungan dari setiap transaksi pembayaran tidak resmi ini. Akankah pemerintah terus membiarkan tindakan para pengusaha ini atau akan menindaknya?
Mengapa tidak diberlakukan persentase tertentu saja dari harga tiket atas keterlambatan penumpang atau yang datang tidak tepat waktu (on time)? Bukankah ini lebih wajar dan adil? Jika ini menyangkut aturan maskapai internasional, maka pemerintah Indonesia perlu berunding. Hal inilah yang harus dilakukan otoritas Kementerian Perhubungan (Kemenhub) agar tak menjadi preseden disektor transportasi darat dan kereta api serta laut.
**
Oleh karena itu, sebagai konsumen publik meminta kepada otoritas pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk menegakkan UUPK secara wajar, adil dan konsisten. Pengenaan biaya jasa pelayanan (service charge) pada kasus makanan dan tidak dikembalikannya harga tiket konsumen pesawat adalah bentuk pungutan liar. Pungli yang berbalut hukuman atas keterlambatan, tetapi tidak diberlakukan setara dengan maskapai untuk kasus yang sama.
Tindakan ini nyata sebagai beban ekonomi bagi konsumen dari setiap harga yang tidak diinformasikan secara terbuka (transparan) sejak awal. Lebih jauh, pola transaksi “terpaksa” ini merupakan sebuah bentuk perilaku primitif diera modern dalam kegiatan jasa perdagangan atau jual beli barang/jasa. Mencari keuntungan/laba diatas posisi konsumen yang tak setara jelas bertentangan dengan nilai Pancasila dan konstitusi ekonomi Pasal 33 UUD 1945. (*)
Leave a comment