JAKARTA — Pemerintah daerah (pemda) diminta melakukan pengawasan ketat terhadap penyetoran Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor atau (PBBKB). Sebab,
Dalam harga BBM baik BBM bersubsidi ataupun BBM Non subsidi yakni bbm Industri dan Marines, terdapat komponen yang besarnya ditetapkan oleh masing masing Pemda yang bersangkutan.
“Ketentuan tentang adanya komponen PBBKB dalam harga BBM antara lain diatur dalam Perpres Nomor 22 Tahun 2005 tentang Harga Jual Eceran BBM Dalam Negeri,”ujar Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria di Jakarta Jumat (22/2/2019).
Dia mencontohkan, Untuk wilayah Provinsi DKI jakarta misalnya, Pemprov DKI menetapkan besaran PBBKB sebesar 5% perliter mengacu kepada Perda Pemrop DKI Nomor 10 Tahun 2010.
“Perolehan PBBKB bagi Pemda sangat berarti karenanya harusnya Pemda intensif melakukan pengawasan dan pemungutan thd pbbkb bagi bbm non subsidi,”tegas Sofyano.
PBBKB bagi bbm non subsidi dan bbm subsidi yang dijual lewat SPBU SPBU, mudah mengontrolnya karena badan usaha niaga umum penyedia BBM lewat spbu,jumlahnya sangat terbatas yakni Pertamina, Shell, Total, Vivo dan AKR. Jadi mudah bagi pemda melakukan pengawasannya.
Namun untuk pengawasan penjualan BBM non subsidi bagi keperluan industri dan laut atau perairan atau dikenal dengan BBM marines, ini sulit mengawasinya karena bisnis ini nyaris dilakukan secara “door to door”.
Untuk diketahui,Penyedia atau pemain BBM industri marine yang berbentuk Badan Usaha Pemegang Izin Niaga Umum (BU-PIUNU) , jumlah nya tercatat sekitar 120 BU PIUNU , yang tersebar diseluruh Indonesia.
Lebih kurang 60juta kilo liter atau sekitar 60 milyar liter bbm non subsid industri marines yang diperdagangkan persetiap tahunnya .
“Jika PBBKB untuk bbm industri marines yg besarannya antara 5% sd 7,5% dinilai rata rata sebesar Rp.200/liter maka Itu berarti PBBKB secara nasional menyumbang pendapatan bagi pemda sekitar Rp12 Triliun per tahun. ini sungguh angka yang sangat besar,”ungkapnya.
Pemda perlu mengamati serius dan ketat melakukan penyetoran PBBKB kepada Pemda yang dilakukan oleh BU PIUNU khususnya BU-PIUNU non BUMN.
Sofyano mempertanyakan Apakah pemda punya data siapa siapa Badan Usaha Niaga Umum yang beroperasi di wilayah dan punya data akurat volume penjualan BBM Non Subsidi untuk Industri dan Marine yang dilakukan pihak swasta ini?
Pemda seharusnya bisa bekerjasama dengan BU Niaga Umun BUMN dan Anak Perusahaannya yakni Pertamina dan Patra Niaga agar BUMN ini memungut PBBKB ketika Badan usaha Niaga Umum swasta membeli bbm industri marines dari nya.
“Lebih mudah mengontrol Pertamina dan Patra Niaga terkait pemungutan PBBKB ketimbang pihak swasta,”tegasnya.
Untuk diketahui Badan Usaha Niaga Umum Pertamina dan Patra Niaga langsung memungut PBBKB dari agen agen mereka ketika para agen membeli bbm industri marines dari nya.
Sementara hal yang sama tidak dilakukan terhadap Badan Usaha Niaga Umum swasta karena mereka juga adalah badan usaha yang juga adalah Wajib Pungut .
Tidak dipungutnya PBBKB dari pembeli akhir oleh para wapu bisa membuat selisih harga yang cukup besar dan ini tentu menjadi masalah sebagai persaingan yang tidak sehat antar pelaku bisnis bbm industri marines namun ujung ujungnya Pemdalah yang dirugikan. (acb)
Leave a comment