oleh :
Laksda Tni (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM
Dalam konteks hukum dan administrasi, pendekatan penyederhanaan kelembagaan ini dapat dipahami melalui teori pemisahan kekuasaan dari John Locke dan teori birokrasi efisien dari Max Weber.
Teori Hukum: John Locke dan Pemisahan Kekuasaan
John Locke dalam teori pemisahan kekuasaan menegaskan bahwa pemisahan yang jelas antara fungsi dan kewenangan lembaga negara sangat penting untuk menjaga ketertiban, keadilan, dan kepastian hukum. Locke berpendapat bahwa tumpang tindih kewenangan di antara lembaga akan meningkatkan risiko konflik otoritas dan menyebabkan ketidakpastian hukum, yang pada akhirnya melemahkan sistem hukum secara keseluruhan. Dalam konteks penegakan hukum maritim di Indonesia, tumpang tindih antara Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) dan Bakamla menciptakan ketidakpastian terkait otoritas yang berwenang untuk menangani pelanggaran hukum di laut.
Dengan revisi Undang-Undang No. 17 Tahun 2008, kewenangan KPLP diperluas, dan kini mencakup hampir semua tugas yang sebelumnya dijalankan oleh Bakamla. Hal ini memberikan kejelasan otoritas di lapangan dan menghindari bentrokan antar lembaga yang dapat menghambat efektivitas penegakan hukum. Penghapusan Bakamla sesuai dengan prinsip Locke, di mana penyederhanaan kelembagaan ini memungkinkan negara memastikan bahwa kewenangan penegakan hukum di laut lebih jelas, tidak tumpang tindih, dan lebih terkoordinasi. Dengan satu lembaga yang bertanggung jawab secara penuh, KPLP dapat menjalankan tugasnya tanpa gangguan konflik kewenangan.
Teori Birokrasi: Max Weber dan Efisiensi Administrasi
Dalam teori administrasi negara, Max Weber adalah salah satu tokoh utama yang menekankan pentingnya efisiensi birokrasi melalui spesialisasi tugas, kejelasan hierarki, dan pemisahan kewenangan. Weber berpendapat bahwa sistem birokrasi yang efisien akan mencegah pemborosan sumber daya dan memastikan bahwa tugas-tugas negara dijalankan secara optimal. Ketika kewenangan lembaga-lembaga negara tumpang tindih, seperti halnya dalam kasus KPLP dan Bakamla, hal ini menciptakan duplikasi tugas yang memboroskan anggaran dan memperlambat operasi di lapangan.
Dalam konteks penegakan hukum maritim di Indonesia, tumpang tindih antara KPLP dan Bakamla menyebabkan inefisiensi yang signifikan. Kedua lembaga memiliki tugas serupa dalam hal patroli laut, penghentian kapal, dan penegakan hukum terhadap penyelundupan atau pelanggaran lainnya. Penghapusan Bakamla akan memungkinkan negara mengurangi duplikasi tugas dan memusatkan semua kewenangan kepada KPLP, yang akan meningkatkan efisiensi operasional. Negara juga akan lebih hemat dalam hal anggaran, karena alokasi sumber daya yang sebelumnya terbagi antara dua lembaga dapat dipusatkan pada KPLP, baik untuk patroli, peralatan, maupun pengelolaan sumber daya manusia. Penghapusan lembaga yang tidak lagi relevan ini sesuai dengan pandangan Weber bahwa spesialisasi tugas dan kejelasan hierarki adalah kunci bagi birokrasi yang efisien.
10 Ancaman Keamanan Maritim dan Kewenangan KPLP Sebagai bagian dari revisi UU No. 17/2008, Pasal 277 dan 278 memberikan KPLP kewenangan eksplisit untuk menangani 10 ancaman utama keamanan maritim yang sebelumnya menjadi tugas Bakamla. Ancaman-ancaman ini mencakup illegal fishing, penyelundupan manusia, perdagangan narkotika, perompakan, illegal logging, pencemaran laut, penyelundupan satwa liar, penelitian ilegal di laut, pelanggaran batas wilayah, dan aktivitas Illegal, Unreported, and Unregulated (IUU) Fishing. KPLP diberi wewenang penuh untuk melakukan patroli, penghentian kapal, pengejaran seketika (hot pursuit), dan penyidikan terhadap pelanggaran hukum maritim.
Sebagai contoh, dalam menangani kasus illegal fishing, yang merupakan ancaman signifikan bagi sumber daya kelautan Indonesia, KPLP memiliki kewenangan untuk menghentikan kapal yang melanggar hukum perikanan, memeriksa dokumen kapal, dan mengambil tindakan hukum. Demikian pula dalam hal penyelundupan manusia atau perdagangan narkotika, KPLP memiliki otoritas untuk menghentikan kapal yang dicurigai dan menyerahkan pelanggar kepada otoritas penegak hukum lainnya, seperti Polri. Dengan tidak adanya lembaga lain yang bertanggung jawab atas tugas-tugas ini, proses penegakan hukum akan menjadi lebih efisien dan jelas.

Urgensi Penghapusan Bakamla
Penghapusan Bakamla bukan hanya soal penghematan anggaran, tetapi juga soal efektivitas dan kejelasan dalam sistem penegakan hukum maritim Indonesia. Menggabungkan kewenangan yang sebelumnya tumpang tindih antara KPLP dan Bakamla ke dalam satu lembaga akan meningkatkan efektivitas penegakan hukum, memastikan tidak ada kebingungan di lapangan terkait otoritas, dan memungkinkan negara untuk merespons ancaman keamanan maritim dengan lebih cepat dan efisien. Dari sudut pandang anggaran, penghapusan Bakamla akan memungkinkan penghematan besar, karena negara tidak lagi perlu membiayai dua lembaga yang memiliki peran serupa. Anggaran tersebut dapat dialokasikan sepenuhnya untuk memperkuat KPLP, baik dari segi operasional, pelatihan, hingga infrastruktur.
Dengan menyatukan kewenangan di bawah KPLP, negara akan mendapatkan beberapa keuntungan utama, yaitu kepastian hukum, efisiensi birokrasi, dan penghematan anggaran yang sangat diperlukan untuk memperkuat kapasitas penegakan hukum di laut. Penghapusan Bakamla adalah langkah logis yang sejalan dengan teori hukum dan administrasi modern, dan sangat penting bagi efektivitas penegakan hukum maritim Indonesia di masa depan. [•]%
Leave a comment