Jakarta, Hotfokus.com
Asosiasi Pengamat Energi Indonesia (APEI) meminta Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk membuat undang-undang (UU) yang membahas masalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Pasalnya, jika hanya menggunakan kebijakan pemerintah berjalan, masalah subsidi BBM akan selalu menimbulkan kegaduhan.
“DPR dan pemerintah harus membuat UU tentang subsidi agar keadilan terjaga. Sehingga tidak ada lagi ketimpangan,” ujar a anggota APEI Sofyano Zakaria dalam diskusi bertajuk “Menyoal Kebijakan Energi Nasional” yang digelar APEI di Jakarta, Rabu (26/9).
Dia mengungkapkan, selama ini subsidi BBM membuat masyarakat bisa membeli BBM dengan harga terjangkau. Namun, di sisi lain, membebani keuangan PT Pertamina (Persero) sebagai badan usaha yang ditugaskan untuk menyalurkan BBM bersubsidi. “Rakyat bahagia dengan premium dan subsidi, tapi penugasannya membebani Pertamina. Ini karena tidak ada landasan undang-undangnya,” tuturnya.
Pemerintah, kata dia, harus merumuskan formula dan batasan yang tegas, BBM subsidi untuk siapa dan mekanisme penyalurannya juga jelas dan terkontrol. “Selama ini penggunaan solar subsidi untuk pengusaha angkutan khususnya yang tarif angkutannya tidak diatur oleh pemerintah bisa dinilai publik melanggar rasa keadilan,” jelasnya.
Untuk itu, pihaknya mendesak pemerintah dan DPR untuk membuat Undang-undang tentang subsidi sehingga keadilan tetap terjaga. “Kita minta pemerintah dan DPR harus buat Undang-undang tentang subsidi agar keadilan terjaga dan tidak ada ketimpangan,” tukasnya.
Ia mengatakan, dengan adanya Premium dan subsidi rakyat merasa bahagia, tapi penugasan pemerintah tersebut sangat membebankan Pertamina. “Ini terjadi karena tidak ada landasan Undang-undangnya,” ucap Direktur Eksekutif Puskepi ini.
Sementara pengamat energi Mamit Setiawan menilai, kebijakan harga premium dan solar selama ini memberikan beban besar kepada Pertamina. Penugasan yang diberikan kepada Pertamina, lanjut dia, membuat pengembangan bisnis Pertamina terhambat.
“Kebijakan tidak menaikkan BBM dan listrik sangat populis. Tapi beban BUMN akan sangat besar. Makanya subsidi harus kepada orang, bukan barang,” ujarnyanya.
Di tempat yang sama, Marwan Batubara yang juga rekan Sofyano di AEPI menilai ketahanan energi nasional Indonesia saat ini masih buruk. Hal ini berdasarkan peringkat yang dikeluarkan oleh Dewan Energi Dunia atau World Energy Council melalui Energy Trilemma Index.
Menurutnya, dalam Trilemma Index memuat setidaknya tiga variabel penilaian terkait ketahanan energi secara global, yaitu keamanan energi, ekuitas energi (eksesibilitas dan keterjangkauan) serta kelestarian lingkungan. “Di situ ditemukan daftar negara dengan ketahanan energi yang bagus, ada yang bagus, jelek dan sengat jelek. Kita termasuk yang jelek,” ujar dia.
Dia mengungkapkan, dari sekitar 125 negara, Indonesia berada di peringkat 75, lebih rendah dibandingkan Thailand di peringkat 74 dan Filipina di peringkat 70. Sedangkan di peringkat 1 yaitu Denmark, Swedia di peringkat 2 dan Swiss di peringkat 3.
“Ini karena mereka secara suplai terjamin, ramah lingkungan dan lain-lain. Sedangkan kita masih tergantung pada impor BBM, minyak mentah, faktor lingkungannya juga tidak diperhatikan,” kata dia.
Menurut Direktur Eksekutif IRESS ini, peringkat ini bisa menjadi gambaran bagi pemerintah soal kondisi ketahanan energi Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Dengan demikian, pemerintah harusnya bisa secara serius membenahi sektor energi di dalam negeri agar Indonesia memiliki ketahanan energi yang lebih baik.
“Misalnya soal ketersediaan, sejak 10 tahun lalu kita sudah bicara soal pembangunan kilang baru supaya aman dan tidak tergantung pada negara lain. Tetapi tidak ada satu pun yang membangun,” pungkasnya.(ral)
Leave a comment